Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Membangun Peradaban Melalui Khilafah Literasi (K.H. Said Aqil Siradj).

Oleh: Prof. DR.Said Aqil Sirodj MEMBANGUN  peradaban berbasis pengetahuan tampaknya saat ini jadi kebutuhan mendesak. Fakta kian menguatnya ekstremisme dengan variannya, seperti intoleransi dan narasi kebencian, telah memicu keprihatinan sekaligus memacu kepedulian untuk bergerak kembali pada penguatan keilmuan dan literasi. Sungguh fakta yang menggiriskan. Berita-berita yang belum jelas kebenarannya alias hoaks yang diposting seketika secara kalap dikomentari tanpa refleksi kritis dan tabayun. Ironisnya, tak sedikit kalangan khalayak umum bisa ”mendadak jihadis” dalam menyikapi berita-berita simpang siur tersebut. Hujatan dan caci maki menghambur terhadap mereka yang berbeda pandang. Radikal kambuhan Seorang peneliti bercerita kepada saya. Tuturnya, ada fakta beberapa eks narapidana teroris (napiter) yang sudah keluar penjara dengan rentang waktu yang berbeda dan sudah mendapatkan program deradikalisasi mendadak bagai macan yang terbangun dari tidurnya. Sontak d

Dikembangkan Tanpa Dipertimbangkan

Ada begitu banyak dan boleh dikata hampir semua teori sosial tentang pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat telah dikembangkan tanpa dipertimbangkan. Yah sungguh menarik semboyan pembangunan yaitu untuk mensejahterakan rakyat, pertanyaan nya siapa yang sebenarnya sejahtera disini? Siapa yang pulang balik luar negeri liburan ?siapa yang berganti roda empatnya setiap tahun bahkan setiap bulan? siapa yang tinggal di gedung-gedung mewah nan ber-AC? Saya rasa untuk menjawab pertanyaan yang di atas tidak sampai membuat anda berfikir secara keras . Namun disini saya tidak terlalu ingin membahas siapa yang di untungkan dan siapa yang dirugikan,tapi saya ingin agar kita menganalisis seberapa besar pengaruh teori pembangunan tersebut. Teori pembangunan (developmentalisme) merupakan suatu teori yang tercipta dari berbagai macam teori seperti teori Fungsionalisme struktural, modernisasi,teori sumber daya manusia dll. Teori pembangunan mulai di gagas pada 19

PBNU Sudah Syar'i, Lalu Mengapa Harus NKRI Ber(label)Syariah...?

Sekiranya kita luangkan waktu sejenak untuk kembali membuka lembar sejarah, maka akan kita temui suatu problematika yang setali tiga uang, serupa dengan konteks masa kini. Problematika yang saya maksudkan ialah, kembali bergeloranya suatu gagasan pra bahkan pasca kemerdekaan Republik Indonesia . Lebih tepatnya, gagasan NKRI bersyariah yang pada beberapa waktu lalu, digaungkan kembali oleh beberapa tokoh yang disinyalir kuat berserikat dengan aktor-aktor lain dalam nuansa politis. Beberapa kalangan memandang bahwa, prahara yang demikian ini bakal awet bin alot . Utamanya saat-saat ini, yang mana kontestasi politik nasional sedang dalam momentum sedapnya. Tak lupa, bumbu-bumbu penyedap (red. Hoax ) juga terus ber(di)tebar(k)an sana-sini beserta gonjang-ganjingnya . Politik insinuasi seakan telah lumrah kita temui; Perang tagar  (tanda pagar # ), apalagi. Kemungkinan viv a vis antara pihak negarawan atau pancasilais dengan pihak religius fundamentalis yang “ syariah

Seberapa Pentingkah Pendidikan Budaya dalam Era Globalisasi yang Progresif ?

Tentunya, bukan hal yang asing lagi di telinga kita mendengar perkembangan teknologi yang begitu pesat, seiring berjalannya waktu dalam perputaran bumi pada porosnya, khususnya dalam dunia Pendidikan. Barang itu, telah menjadi suatu keharusan bagi kita untuk dapat menikmatinya pula patut kita Syukuri bersama.  Maka itu pun, bukan menjadi alasan bagi setiap insan yang telah menikmati hasil dari semua ciptaan atas Ciptaan-Nya dengan beranggapan bahwa " Pendidikan Masa Kini tak akan ada pengaruhnya terhadap Masa yang akan Datang ". Artinya, anggapan seperti ini dikeluarkan bahwasanya, apa yang telah ada di masa kini itu sudah menjadi bagian daripada hasil dari masa lampau yang mungkin tetap selalu terkait hingga akhir zaman, namun akan terdikotomi oleh sikap yang tidak etis lagi atau dengan kata lain apatis (acuh tak acuh/masa bodoh) lagi dalam berpikir.  Olehnya, jangan heran jika hari ini kaum-kaum yang bergelut dalam dunia edukasi, itu sudah berkamuflase di poro

Yang Melekat Padanya...

Dari judul diatas pasti kalian semua bertanya-tanya apa maksud dari judul tersebut ?. Jadi, berbicara tentang "melekat", ada sesuatu yang tidak terpisah dari sesuatu tersebut. Disini saya analogikan kepada Perempuan sebab perempuan tidak terlepas atau identik dari yang namanya "kecantikan". Sudah menjadi fitrah manusia jika menyukai yang namanya estetika atau keindahan. Jadi, kerap kali yang namanya kecantikan diidentikkan dengan perempuan, sebab perempuan memiliki kecantikan dan kemampuan menampilkannya serta perhatian lebih besar dibandingkan laki-laki. Pada realitanya, ternyata kecantikan adalah dambaan. Secara tidak sadar, semua pekerjaan yang sebagian (perempuan) lakoni sebenarnya berkiblat pada kecantikan. Ada yang bekerja demi perawatan kulit, wajah, bahkan kuku yang biayanya hampir setara dengan biaya pendidikan di kampus-kampus swasta. Beberapa orang pun bekerja siang dan malam  untuk membayar biaya  memutihkan gigi yang konon sampai ratusan juta