Langsung ke konten utama

Sebuah Lagu Daerah Untuk Pendidikan Dan Budaya Kita.

ᨕᨒᨆ ᨔᨙᨕ ᨔᨙᨕ ᨆᨘᨕ
ᨈᨕᨘ ᨊ ᨕᨚᨇᨚᨑᨗ ᨔᨛᨔᨛ ᨀᨒᨙ
ᨊᨔᨅ ᨑᨗ ᨓᨛᨈᨘ ᨅᨕᨙᨌᨘ ᨊ
ᨉᨙ ᨆᨙᨆᨛ ᨊ ᨕᨛᨃ ᨊ ᨁᨘᨑᨘ
ᨅᨕᨙᨌᨘᨈ ᨆᨗᨈᨘ ᨊ ᨓᨛᨉᨗ ᨔᨗᨔᨛ
ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨅᨈᨚᨓᨊᨗ ᨆᨔᨘᨔᨊᨗ
ᨊᨔᨅ ᨆᨑᨍ ᨊᨓᨊᨓ ᨊᨗ
ᨕᨛᨋᨛᨂᨙ ᨄᨚᨒᨙ ᨈᨚᨊᨗ ᨀᨘᨈᨘ ᨕᨙ ᨞
Alamaa sea sea mua
Tau naa ompoori sesse’ kalee
Nasabaa riwettuu baeccuu’na
De’ memeng na engka na guruu
Baeccuu’ta mi tu na weddis siseng
Narekko battoani masussani
Nasaba maraja nawanawa ni
Enrenge pole toni kuttue .
(Sumber gambar : pribadi)
(TERJEMAHAN)
Alangkah sia-sianya
Hidup manusia yang dilanda penyesalan
Karena di masa kecilnya
Tidak pernah belajar
Waktu kecillah belajar itu diperlukan
Kalau sudah besar, akan susah
Karena sudah banyak yang dipikirkan
Dan kemalasan juga menghampiri.

BAGI penulis secara pribadi, lagu ini sungguh sangat berkesan dan sukar untuk dilupakan. Tapi ini bukan tentang mantan yah. Alasan pertama, karena lagu ini sendiri merupakan lagu wajib (sunnah lah kalo tidak ingin berlebihan) kala ibu-ibu sedang akan meninabobokan jagoannya didaerah asal penulis. Sungguh para orang tua yang begitu peduli untuk memberikan pappaseng (nasihat) dengan cara yang kreatif sedini mungkin kepada sang terkasih.

Alasan kedua, lagu ini pernah menyelamatkan muka penulis dari guru yang the best kala dulu. Ia adalah salah seorang guru yang oleh penulis, begitu menaruh hormat padanya. Suatu waktu saat penulis masih berseragam merah putih (ESDEH), Guru penampuh mata pelajaran Kesenian dan Budaya juga pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, memberikan kedjoetan pada kami sekelas. Kejutan yang berupa menyanyikan lagu wajib nasional dan lagu daerah.

Terpilihlah Bagimu Negeri dan lagu wejangan bugis tadi. Lagu daerah yang sampai hari ini, penulis belum mengetahui asal muasal, pengarang, dan bahkan judul lagu tersebut. Selamat dari marabahaya hukuman moril berupa ejekan teman sebangku dan teman kelasnya, berkat lagu daerah yang jaman now dan jaman future, akan jarang terdengar lagi.

Sederet tanya yang perlu untuk kita renungkan bersama tentang hal tadi. Bukankah mata pelajaran di sekolah-sekolah serupa tadi (pendidikan budaya atau kearifan lokal dan sejenis), telah menjadi asing untuk saat-saat ini ? Bukankah budaya luar (red. Western) terlihat lebih ashiquee ? Sampai kapan perdebatan tentang vis a vis agama dan budaya kian alot, meluber, bahkan mengaburkan esensi salah satu atau bahkan keduanya ? Serta pertanyaan-pertanyaan sejenis yang memperkosa pikiran penulis yang belum sempat termuat lewat tulisan ini.

Untuk pertanyaan pertama sendiri, bila kita telisik perkembangan pendidikan saat-saat ini, acapkali para pemerhati pendidikan dan kebudayaan harus mengelus dada. Barangkali, regulasi atau aturan pada pihak terkait (kebijakan sekolah / kampus) yang melingkupi akannya, sehingga mempersempit ruang dan panggung untuk tetap lestarinya budaya dan kearifan lokal yang teredukasikan dini lewat lembaga pendidikan (sekolah / kampus). Ataukah ada sebab lain, ferguso ?.

Lembaga pendidikan formal, sepatutnya terlibat proactive dalam upaya menjawab pertanyaan pertama sekaligus pertanyaan kedua diatas tadi. Penanaman nilai kearifan lokal sedini mungkin adalah jawaban atas maraknya fenomena masa kini. Fenomena yang dimaksud ialah, berseliweran kasus yang mengindikasikan bahwa, anak bangsa yang berbudaya namun tak mengenal budayanya sendiri. Mengenal saja belum jaminan akan terejawantah dalam laku keseharian, apatahlagi bila tidak. Iya kan ?. Juga, telah menjamurnya budaya yang kurang sesuai dengan norma, etika, dan nilai yang dipahami, dipegang, dan diberlakukan.

Contoh kasus terhangat akan hal ini ialah, beberapa waktu lalu dibeberapa daerah, terjadi tragedi pendidikan. Beredar video amatir, seorang siswa ESEMPE yang menantang kelahi sang guru yang menegur siswa tersebut untuk tidak merokok didalam ruang kelas. Belum beranjak dari beranda ingatan; di daerah Takalar, Sulawesi-Selatan tragedi pendidikan terjadi lagi. Beberapa siswa yang mengeroyok seorang civitas akademik yang berangkat dari hal sepele. Lebih mirisnya, para orang tua siswa juga terlibat, seakan merestui hal tadi.

Santer saja, hal ini menjadi perbincangan hangat disemua kalangan. Menambah file bervirus di draft tragedi pendidikan di Negeri berflower, ENDONESA. Keterlibatan semua pihak, mutlak untuk menangkal problema semacam ini. Namun, terlihat kita semua (mayoritas ?) sedang lebih gandrung akan hal lain. Sebut saja, XPRET dan XBONG. Kembali abai akan pendidikan dan masa depan kelestarian budaya kearifan lokal kita.

Dulu, “andjing bergonggong, kafilah berlaloe”. Sekarang “Drama ke(pem)bodohan berkesinambung, terserah loe”. Sungguh negeri berflower maha ashiquee.

Berangkat dari hal tadi, sekiranya perlu peninjauan ulang akan upaya pelestarian budaya dan kearifan lokal yang tentu saja bertalian erat dengan Pendidikan Kewarganegaraan ini, fardlu ‘ain untuk dilakukan. Baik itu pada ranah pendidikan formal (sekolah, kampus, institusi, dll), pendidikan informal (keluarga), dan nonformal (lingkungan). Ketiganya bila terbangun sinergitas, akan efektif untuk menjawab tantangan peradaban ini.

Barangkali akan ada yang berpandangan bahwa, upaya-upaya merawat dan melestarikan budaya kearifan lokal adalah upaya pengungkungan diri akan dunia yang berkembang pesat. Tentu pandangan semacam ini adalah pandangan parsial, bila tidak ingin frontal menyalahinya. Bukankah kaidah fiqhyiah telah menjelaskan, “Al Muhafadzatu ‘alal qodiimis Sholih wa Akhdzu bil Jadidil Ashlah”. Menjaga atau merawat yang lama yang baik sembari mencari atau mengambil yang baru yang lebih baik lagi.

Teruntuk pertanyaan ketiga yang hangatnya awet, seperti tagline iklan balsem. Tentang vis a vis antara agama dan budaya. Sebuah diskursus yang pembahasannya sepanjang zaman; barangkali demikian adanya. Kerapkali keserempet yang katanya Bidngah dan konco-konco sejawatnya.

Pihak satu mengatur argumentasi seraya mencomot dalil sesuka hati, guna membenarkan diri. Seakan Kalam Tuhan adalah pedang sekaligus tameng untuk memerangi hamba Tuhan yang lain. Pada pihak sebelah, kadang membentengi diri sekaligus membakar lumbung sendiri. Memperdebatkan budaya dengan cara tidak berbudaya. Budaya mendebat dan menyalahkan, sebegitunyakah berbudaya itu ferguso ?.

Saya sendiri hanya ingin mengutip salah satu ungkapan dari Kyai yang juga Budayawan; “Jika tradisi dan budaya dirusak, maka agama akan menjadi kering, keras, dan kehilangan nilai estetik serta tidak manusiawi. Jika sudah demikian, agama akan semakin jauh dari realitas sosial. Bila demikian, agama hanya bisa diamalkan oleh malaikat”. (Gus Sastrouw Al-Ngatawi).

KEMBALI KE LAPTOP. Bahwa, lewat lagu daerah yang berasal dari tanah bugis ini, dapat menghantarkan kita kembali untuk menyadari urgensi penanaman nilai edukasi sedini mungkin. Bukankah bila telah beranjak dewasa, seseorang akan diperhadapkan pada hal-hal besar juga. Sama halnya pohon, yang bila ia kian mekar dan besar, niscaya terpaan angin juga kuat. Berbanding lurus. Bila akar kurang kokoh, tiupan angin sekecil apapun akan berpengaruh. Apalagi besar. Olehnya, sedini mungkin seorang manusia yang ingin berlaku manusiawi, harus dimanusiakan lewat pendidikan. “Insaniatul insan”, memanusiakan manusia; demikian salah satu tujuan pendidikan itu sendiri.

Lebih lanjut, bila kita hendak cermati lirik lagu diatas, sedikit bisa temukan indikasi akan gambaran sebuah sesal. Penyesalan seseorang yang barangkali kurang atau bahkan tidak pernah melalui proses pembelajaran saat masa kecilnya. Tatkala telah tumbuh keinginan untuk belajar, pembelajaran pun agak menemui kesukaran dalam upaya memahami pelajaran itu sendiri. Karena pikiran telah bercabang dan rasa malas juga telah mendera.

Demikian halnya dengan budaya kearifan lokal kita. Sedini mungkin juga perlu untuk kita rawat bersama. Bukankah dikatakan bahwa, “bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai budayanya sendiri”. Argumentasi tersebut tak lantas bisa kita interpretasikan bahwa, adanya upaya membangun demarkasi antar sesama. Bukankah Tuhan lewat firman-Nya menyatakan bahwa, memang kita tercipta berbeda untuk saling mengenal dan baku sayang-sayange

Lagu ini juga menyampaikan sebuah pappaseng (pesan) tersirat tentang pendidikan sepanjang hayat manusia. Memang dalam lirik nya menyatakan akan sulitnya pendidikan bila terlamabat dimulai, namun diaitu kita bisa pahami bahwa, tuntutlah ilmu walau itu kita rumit akannya. Sudah barang tentu, kita masih ingat bersama salah satu hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa, “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lihat”.

Ngapunteun sadayana, hyang ingin mendengarkan lagu ini bisa klik tautan berikut, monggo…



Palopo, 22 Feb 19

Credit by : Idrisefendy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Z dan Artifisial Intelegensi

  Penulis : Muhammad Arya Gandi Abdillah Setiap zaman istilah yang dilabelkan pada setiap generasi selalu berubah-ubah mulai dari generasi old, generasi milineal, dan generasi sekarang yakni generasi z. Seiring dengan perkembangan zaman maka perkembangan setiap generasi pun berubah. Perubahan istilah tersebut telah berdampak pada sistem serta cara hidup masyarakat, dengan pengalihannya pada alur teknologi, lalu perubahan demikian telah juga merembet pada generasi yang hampir seluruh aturan kehidupannya telah di sandarkan semuanya pada teknologi. Generasi z telah menjadi label bagi kalangan muda masa kini, dimana era penguasaan teknologi digunakan dalam beragam sektor. Ketika tidak memanfaatkan hal demikian untuk mencari serta menggunakan teknologi sebagai mana mestinya, maka manusia menjadi terlena oleh teknologi yang ada. Teknologi adalah peluang besar para generasi z untuk menemukan informasi positif dibalik penyajian teknologi, apalagi teknologi telah menggurita didalam setiap aktiv

Media Sosial, Manusia, dan Demokrasi

Penulis : Muh Arya Gandi Abdillah Dunia maya sudah tidak asing lagi di telinga kita, karena aktivitas hidup kita telah dijalankan dalam dua dunia, antara dunia realitas dan dunia maya, bahkan kondisi kehidupan kita sudah bisa di ketahui oleh keluarga serta orang yang mungkin tidak kita kenal dari jaraknya jauh, karena kita selalu bikin status tentang sedih dan emosi seolah-olah dunia maya adalah malaikat untuk siap mendengarkan curhatan. Keterlimpahan aktivitas yang lebih banyak di media sosial, membawa kita pada arus modernitas yang semu, karena seolah-olah media sosial dengan pendekatan hegemoninya meyakinkan manusia untuk mempercayai bahwa ketentuan segalanya bahkan jodoh bisa di tentukan lewat media sosial dengan penggunaan aplikasi jodoh. Dan juga bisa mendefinisikan kecantikan dan ketampanan sesuai dengan selera fisik yang di inginkan. Hegemoni dunia maya dengan pendekatan algoritmanya, manusia setiap hari telah di kuasai namun tidak di ketahui bahwa kita telah masuk dalam pusara

APA ITU PMII

 Apa Itu PMII? Ada satu hal sering kali teringat dalam setiap memperkenalkan PMII terhadap mahasiswa baru di kampus IAIN Palopo. Pertanyaan itu sepintas seolah menyamakan PMII dengan salah satu organisasi yang konsentrasi di bidang kesehatan, yakni PMI. “Apa itu PMII kak?”, tanya salah seorang mahasiswa baru.  “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dek”, jawab senior. “Itu kah Palang Merah Indonesia (PMI)?”, ujar mahasiswa baru sambal mengernyitkan dahi. “Bukan dek. Jadi, memang kalau di Perguruan Tinggi itu beda antara PMI dan PMII, karena dari kepanjangannya juga sudah dapat dibedakan, apalagi penyebutannya”, pungkas senior yang begitu sabar menghadapi lontaran pertanyaan. “Oh begitu ga kak? Saya kira sama dengan itu yang biasa di sekolah waktu ku SMA”, ungkap mahasiswa baru yang amat penasaran. Tak jarang ketika salah seorang senior dari PMII selalu dilontarkan pertanyaan demikian. Lantaran, di Perguruan Tinggi khususnya di IAIN Palopo organisasi tersebut baru dia dengar istilah itu.