Langsung ke konten utama

Media Sosial, Manusia, dan Demokrasi

Ilustrasi media sosial, manusia dan demokrasi

Penulis : Muh Arya Gandi Abdillah


Dunia maya sudah tidak asing lagi di telinga kita, karena aktivitas hidup kita telah dijalankan dalam dua dunia, antara dunia realitas dan dunia maya, bahkan kondisi kehidupan kita sudah bisa di ketahui oleh keluarga serta orang yang mungkin tidak kita kenal dari jaraknya jauh, karena kita selalu bikin status tentang sedih dan emosi seolah-olah dunia maya adalah malaikat untuk siap mendengarkan curhatan.

Keterlimpahan aktivitas yang lebih banyak di media sosial, membawa kita pada arus modernitas yang semu, karena seolah-olah media sosial dengan pendekatan hegemoninya meyakinkan manusia untuk mempercayai bahwa ketentuan segalanya bahkan jodoh bisa di tentukan lewat media sosial dengan penggunaan aplikasi jodoh. Dan juga bisa mendefinisikan kecantikan dan ketampanan sesuai dengan selera fisik yang di inginkan.

Hegemoni dunia maya dengan pendekatan algoritmanya, manusia setiap hari telah di kuasai namun tidak di ketahui bahwa kita telah masuk dalam pusaran penguasaan itu. Sehingga mempengaruhi gaya hidup, bahkan cara berpikir kita untuk menjadi manusia keren harus di patok olehnya.

Dengan hadirnya dunia baru itu menghadirkan kembali kita pada problem masalalu, yakni problem ras yang mensuperiorkan kulit putih dan kulit hitam menjadi inferior lalu muncul juga isu agama dan kesukuan. Problem ras, agama, suku itu banyak hadir dalam dunia maya, apalagi mendekati hari-hari pemilu. Karena manusia lebih mengedepankan emosional di banding rasionalnya.

Seperti kita ketahui, dunia maya adalah medium yang memudahkan untuk membrending masing-masing kandidat untuk menaikkan popularitasnya dalam mendekati momentum pemilu. Bahkan dalam mendekati momentum politik untuk mengalahkan popularitas kandidat lain maka sering terjadi isu yang di angkat adalah identitas politik sampai isu kesukuan. Sehingga mau tidak mau suka tidak suka manusia konsumen tidak bisa mengelak dari itu semua karena itu bagian dari strategi kampanye.

Katakanlah, isu kesukuan dan identitas politik adalah isu yang selalu diangkat serta di wacanakan mendekati hari-hari politik, karena isu tersebut ialah isu yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat, dan untuk memudahkan manaikkan eksistensi kandidat, isu tersebut sebenarnya suatu hal yang biasa saja karena itu adalah bagian strategi. Namun yang menjadi masalah besar ketika hal tersebut telah menguasai segalanya, maka demokrasi hancur karena kompromi tidak dapat tercapai. Dari hal tersebut dampaknya besar, karena nalar dan argumen akan di kalahkan oleh emosi dan loyalitas kesukuan yang berlebihan dan membabi-buta.

Percepatan informasi dan kecanggihan teknologi telah mempengaruhi semua kehidupan, dan bahkan dalam setiap harinya kita lebih asik scroll tiktok, facebook, dan membuka twitter, dengan keasikan kita membuka aplikasi tersebut singgah kita akan menemukan gambar atau video kandidat dengan penggiringan isu kesukuan, dan agama. Netizen yang berbeda pilihan serta berbeda agama dan suku akan mengomentarinya dengan bullying dan lainya.

Dalam konteks ini, pemilu selalu ajang dimana setiap orang mencari, serta di mana setiap elit menyajikan yang dapat merusak etis masyarakat dalam mengalahkan lawan-lawan politiknya. Seperti pemilihan yang terjadi di Amerika, isu ras serta agama selalu di angkat untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya.

Proses demokratisasi dengan kondisi semacam itu telah berdampak buruk bagi jalannya demokrasi, sebab pemberitaan yang tersebar walaupun itu berita bohong (fake news) tetap akan mempengaruhi psikologis sehingga memancing emosional bagi manusia yang membacanya ketika sekaitan denga suku, ras, dan agama. Sehingga kita hidup dalam perpecahan dan kebencian.

Bagaimanapun situasi dan kondisi yang terjadi sekaitan dengan kuasa dunia maya lewat pemegang big data sampai penggagas algoritma dalam teknologi telah berhasil mempermainkan arah demokrasi yang berimplikasi pada psikologis manusia, dengan menampilkan fitur-fitur yang dapat memancing emosional sehingga membenci dan menertawai yang berbeda dengan yang lain, seolah-olah tidak memiliki rasa kemanusiaan.

Cara demikian sudah menjadi alternatif yang paling sistematis dalam menghadirkan sensasional untuk manusia, agar dapat terobsesi untuk bisa mengalahkan rivalnya dalam mempengaruhi kepercayaan masyarakat untuk bisa memilihnya. Tolak ukur keberhasilan agitasinya dengan cara memposting banyak informasi yang sampai pada masyarakat lalu ketika masyarakat suka dengan postingannya maka postingan-postingan selanjutnya akan masuk sendiri di brandanya.

Maraknya informasi yang masuk sendiri dalam beranda kita maka itu akan bisa terhitung sebagai orang yang menyukai kandidat tersebut yang berhasil di sajikan oleh tim dari kelompoknya karena kita keseringan menontonnya. Bahkan bisa mempengaruhi kepercayaan kita atas informasi yang di bagikannya.

Maka dari itu, cara kerja media sosial dengan rumus algoritmanya, ketika tidak bijak mengakses informasi tersebut, dan melihat mana yang menawarkan gagasan serta ingin menepis permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka kita telah terperangkap oleh strategi permainan yang mengancam berjalannya demokratisasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Z dan Artifisial Intelegensi

  Penulis : Muhammad Arya Gandi Abdillah Setiap zaman istilah yang dilabelkan pada setiap generasi selalu berubah-ubah mulai dari generasi old, generasi milineal, dan generasi sekarang yakni generasi z. Seiring dengan perkembangan zaman maka perkembangan setiap generasi pun berubah. Perubahan istilah tersebut telah berdampak pada sistem serta cara hidup masyarakat, dengan pengalihannya pada alur teknologi, lalu perubahan demikian telah juga merembet pada generasi yang hampir seluruh aturan kehidupannya telah di sandarkan semuanya pada teknologi. Generasi z telah menjadi label bagi kalangan muda masa kini, dimana era penguasaan teknologi digunakan dalam beragam sektor. Ketika tidak memanfaatkan hal demikian untuk mencari serta menggunakan teknologi sebagai mana mestinya, maka manusia menjadi terlena oleh teknologi yang ada. Teknologi adalah peluang besar para generasi z untuk menemukan informasi positif dibalik penyajian teknologi, apalagi teknologi telah menggurita didalam setiap aktiv

APA ITU PMII

 Apa Itu PMII? Ada satu hal sering kali teringat dalam setiap memperkenalkan PMII terhadap mahasiswa baru di kampus IAIN Palopo. Pertanyaan itu sepintas seolah menyamakan PMII dengan salah satu organisasi yang konsentrasi di bidang kesehatan, yakni PMI. “Apa itu PMII kak?”, tanya salah seorang mahasiswa baru.  “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dek”, jawab senior. “Itu kah Palang Merah Indonesia (PMI)?”, ujar mahasiswa baru sambal mengernyitkan dahi. “Bukan dek. Jadi, memang kalau di Perguruan Tinggi itu beda antara PMI dan PMII, karena dari kepanjangannya juga sudah dapat dibedakan, apalagi penyebutannya”, pungkas senior yang begitu sabar menghadapi lontaran pertanyaan. “Oh begitu ga kak? Saya kira sama dengan itu yang biasa di sekolah waktu ku SMA”, ungkap mahasiswa baru yang amat penasaran. Tak jarang ketika salah seorang senior dari PMII selalu dilontarkan pertanyaan demikian. Lantaran, di Perguruan Tinggi khususnya di IAIN Palopo organisasi tersebut baru dia dengar istilah itu.